"Tidak ada manusia yang pintar berumah
tangga". Sejenak kata – kata itu membuat saya termenung. Benarkah ?
Ratih tak pernah
membayangkan bahwa ia akan menjadi sosok perempuan yang dipilih-Nya untuk
menjadi lebih kuat dengan cara yang teramat berat.
Roni, suami yang dinikahinya sekitar 5
(lima) tahun lalu. Roni adalah kekasih Ratih dari semasa mereka sama – sama
duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Hubungan jarak jauh membuat
keduanya tak bisa menghindari berbagai konflik kecil yang datang silih
berganti. Jarak mereka terbentang puluhan kilometer. Beruntung, saat itu media
komunikasi sudah banyak beredar di kalangan masyarakat, sehingga masalah jarak
bukan persoalan bagi mereka untuk membangun komunikasi.
Selepas lulus SMA,
Ratih dan Roni memutuskan untuk meresmikan hubungan mereka melalui ikatan suci
pernikahan.
“Bee”, terdengar sapaan hangat seorang
pria di ujung sana saat Ratih mengangkat dering ponselnya.
Semenjak awal masa pacaran
mereka memang mempunyai nama panggilan. “Bee” adalah panggilan Roni untuk
Ratih, begitupun sebaliknya.
“Hallo Bee…”, jawab ratih dengan
lembut, tentu saja dengan suara yang terdengar riang. Karena satu dua urusan,
akhir – akhir ini Roni memang sedikit jarang menghubungi kekasihnya itu.
Setelah bercengkerama panjang lebar,
menanyakan kabar, sudah makan atau belum, percakapan – percakapan layaknya dua insan
yang tengah jatuh cinta, Roni meminta Ratih untuk memberikan ponselnya kepada Ayahnya.
Terdengar Roni menyambung pembicaraan
mereka, “Boleh minta tolong berikan ponsel ini pada Ayahmu ?”. “Ayah belum
pulang kerja, ada apa ?”, jawab Ratih dengan nada penasaran. Ayah Ratih memang
bekerja di salah satu bengkel mobil dan biasa pulang di atas jam 8 malam. “Aah
tidak, aku hanya ingin bercengkerama dengannya”, Roni dengan santai menjawab.
“Kalo Ibu, ada di rumah ?”, sambung
Roni dari ujung sana. Ratih yang tidak curiga dengan apa yang akan disampaikan
Roni menjawab, “Ada, mau aku berikan ponsel ini padanya ?”. “Ya, kalau beliau
sedang tidak sibuk, tolong sampaikan aku ingin bicara dengannya”, jawab Roni
semangat.
“Hallo Nak Roni, apa kabar ?”, sang
Ibu langsung menyalami Roni ketika anaknya, Ratih, menjelaskan kalau Roni ingin
berbicara dengannya.
“Alhamdulillah, kabar baik Bu,
Ibu apa kabar ?”, jawab Roni begitu santun. Beberapa menit mereka bercengkerama
melalui telepon saat itu, tibalah saat dimana Roni menyampaikan sesuatu yang
cukup membuat si Ibu terdiam beberapa saat.
“Bu, saya ingin meresmikan hubungan
saya dengan Ratih sesegera mungkin”, terang Roni dengan nada yang terdengar
cukup hati – hati. Ibunda Ratih terdiam sebentar tanpa menjawab pernyataan
Roni. Roni memang sudah dikenalkan Ratih kepada keluarganya sejak mereka sama –
sama duduk di SMA. Kehadiran Roni di kediaman Ratih menjadi lebih sering
semenjak mereka lulus SMA, 7 tahun lalu. Tempat tinggal Roni yang notabene di
luar kota, terpaut jarak puluhan kilometer, terkadang hal ini membuat Roni
terpaksa menginap di rumah keluarga Ratih sebelum akhirnya pulang keesokan
harinya.
Namun demikian, Ibunda Ratih tidak
mengira kalau Roni mempunyai fikiran untuk meresmikan hubungan mereka melalui
ikatan pernikahan secepat ini. Selama ini mereka masih menganggap kalau
hubungan Ratih & Roni sebatas hubungan kekasih antar belia, yang jauh dari
kata serius.
“Bu..”, terdengar suara Roni yang
berusaha memecah keheningan di ujung teleponnya.
“Oh iya Nak..”, jawab sang Ibu setengah
terperanjat.
“Ibu tidak berhak memutuskan hal ini
sekarang, Ibu harus menyampaikan ini terlebih dahulu dan mendiskusikannya
dengan keluarga, Bapak, dan tentu saja Ratih..” lanjut sang Ibu.
“Iya Bu, saya mengerti. Tidak apa –
apa jika memang begitu, saya menunggu jawaban dari Ibu dan keluarga
secepatnya”, terdengar Roni yang berbicara dengan nada setengah memohon.
“Baik Nak, nanti kami kabari
secepatnya.”, begitu pungkas si Ibu.
Satu,
dua hari berlalu, Roni masih menantikan jawaban dari Ratih dan keluarganya.
Sebetulnya dia begitu yakin kalau Ratih akan menerima dan setuju dengan rencana
yang telah ia sampaikan kepada Ibunda Ratih 2 hari yang lalu itu. Dering
telepon yang dia dengar, tak juga menunjukkan nama Bee Ratih di layar
ponselnya. Roni tak berani menghubungi Ratih dan keluarganya untuk menanyakan
hal ini karena takut dikira tidak sabaran. Komunikasi Roni dan Ratih pun
sementara hanya terjalin melaui SMS, itupun sama sekali tidak menyinggung
rencana pernikahan mereka itu.
Satu minggu berlalu,
telepon yang ditunggu akhirnya datang.Entah apa yang membuat wajah Roni
seketika memucat, tangannya menjadi dingin dan gemetaran, dia tampak ragu dan
beberapa kali mengecek suara. “Ehem, eheem”, Roni memastikan kalau dia dapat
berbicara dengan lantang melalui telepon, karena saat itu panggilan yang masuk
memang langsung dari nomor handphone bapaknya Ratih.