Friday, December 5, 2014

Untukmu Sahabat - "Kuharap Pelangi di Hujan Pagi Ini"


"Tidak ada manusia yang pintar berumah tangga". Sejenak kata – kata itu membuat saya termenung. Benarkah ?

Ratih tak pernah membayangkan bahwa ia akan menjadi sosok perempuan yang dipilih-Nya untuk menjadi lebih kuat dengan cara yang teramat berat.
Roni, suami yang dinikahinya sekitar 5 (lima) tahun lalu. Roni adalah kekasih Ratih dari semasa mereka sama – sama duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Hubungan jarak jauh membuat keduanya tak bisa menghindari berbagai konflik kecil yang datang silih berganti. Jarak mereka terbentang puluhan kilometer. Beruntung, saat itu media komunikasi sudah banyak beredar di kalangan masyarakat, sehingga masalah jarak bukan persoalan bagi mereka untuk membangun komunikasi.
Selepas lulus SMA, Ratih dan Roni memutuskan untuk meresmikan hubungan mereka melalui ikatan suci pernikahan.
“Bee”, terdengar sapaan hangat seorang pria di ujung sana saat Ratih mengangkat dering ponselnya.
Semenjak awal masa pacaran mereka memang mempunyai nama panggilan. “Bee” adalah panggilan Roni untuk Ratih, begitupun sebaliknya.
“Hallo Bee…”, jawab ratih dengan lembut, tentu saja dengan suara yang terdengar riang. Karena satu dua urusan, akhir – akhir ini Roni memang sedikit jarang menghubungi kekasihnya itu.
Setelah bercengkerama panjang lebar, menanyakan kabar, sudah makan atau belum, percakapan – percakapan layaknya dua insan yang tengah jatuh cinta, Roni meminta Ratih untuk memberikan ponselnya kepada Ayahnya.
Terdengar Roni menyambung pembicaraan mereka, “Boleh minta tolong berikan ponsel ini pada Ayahmu ?”. “Ayah belum pulang kerja, ada apa ?”, jawab Ratih dengan nada penasaran. Ayah Ratih memang bekerja di salah satu bengkel mobil dan biasa pulang di atas jam 8 malam. “Aah tidak, aku hanya ingin bercengkerama dengannya”, Roni dengan santai menjawab.
“Kalo Ibu, ada di rumah ?”, sambung Roni dari ujung sana. Ratih yang tidak curiga dengan apa yang akan disampaikan Roni menjawab, “Ada, mau aku berikan ponsel ini padanya ?”. “Ya, kalau beliau sedang tidak sibuk, tolong sampaikan aku ingin bicara dengannya”, jawab Roni semangat.
“Hallo Nak Roni, apa kabar ?”, sang Ibu langsung menyalami Roni ketika anaknya, Ratih, menjelaskan kalau Roni ingin berbicara dengannya.
Alhamdulillah, kabar baik Bu, Ibu apa kabar ?”, jawab Roni begitu santun. Beberapa menit mereka bercengkerama melalui telepon saat itu, tibalah saat dimana Roni menyampaikan sesuatu yang cukup membuat si Ibu terdiam beberapa saat.
“Bu, saya ingin meresmikan hubungan saya dengan Ratih sesegera mungkin”, terang Roni dengan nada yang terdengar cukup hati – hati. Ibunda Ratih terdiam sebentar tanpa menjawab pernyataan Roni. Roni memang sudah dikenalkan Ratih kepada keluarganya sejak mereka sama – sama duduk di SMA. Kehadiran Roni di kediaman Ratih menjadi lebih sering semenjak mereka lulus SMA, 7 tahun lalu. Tempat tinggal Roni yang notabene di luar kota, terpaut jarak puluhan kilometer, terkadang hal ini membuat Roni terpaksa menginap di rumah keluarga Ratih sebelum akhirnya pulang keesokan harinya.
Namun demikian, Ibunda Ratih tidak mengira kalau Roni mempunyai fikiran untuk meresmikan hubungan mereka melalui ikatan pernikahan secepat ini. Selama ini mereka masih menganggap kalau hubungan Ratih & Roni sebatas hubungan kekasih antar belia, yang jauh dari kata serius.
“Bu..”, terdengar suara Roni yang berusaha memecah keheningan di ujung teleponnya.
“Oh iya Nak..”, jawab sang Ibu setengah terperanjat.
“Ibu tidak berhak memutuskan hal ini sekarang, Ibu harus menyampaikan ini terlebih dahulu dan mendiskusikannya dengan keluarga, Bapak, dan tentu saja Ratih..” lanjut sang Ibu.
“Iya Bu, saya mengerti. Tidak apa – apa jika memang begitu, saya menunggu jawaban dari Ibu dan keluarga secepatnya”, terdengar Roni yang berbicara dengan nada setengah memohon.
“Baik Nak, nanti kami kabari secepatnya.”, begitu pungkas si Ibu.
                Satu, dua hari berlalu, Roni masih menantikan jawaban dari Ratih dan keluarganya. Sebetulnya dia begitu yakin kalau Ratih akan menerima dan setuju dengan rencana yang telah ia sampaikan kepada Ibunda Ratih 2 hari yang lalu itu. Dering telepon yang dia dengar, tak juga menunjukkan nama Bee Ratih di layar ponselnya. Roni tak berani menghubungi Ratih dan keluarganya untuk menanyakan hal ini karena takut dikira tidak sabaran. Komunikasi Roni dan Ratih pun sementara hanya terjalin melaui SMS, itupun sama sekali tidak menyinggung rencana pernikahan mereka itu.
Satu minggu berlalu, telepon yang ditunggu akhirnya datang.Entah apa yang membuat wajah Roni seketika memucat, tangannya menjadi dingin dan gemetaran, dia tampak ragu dan beberapa kali mengecek suara. “Ehem, eheem”, Roni memastikan kalau dia dapat berbicara dengan lantang melalui telepon, karena saat itu panggilan yang masuk memang langsung dari nomor handphone bapaknya Ratih.