"Tidak ada manusia yang pintar berumah
tangga". Sejenak kata – kata itu membuat saya termenung. Benarkah ?
Ratih tak pernah
membayangkan bahwa ia akan menjadi sosok perempuan yang dipilih-Nya untuk
menjadi lebih kuat dengan cara yang teramat berat.
Roni, suami yang dinikahinya sekitar 5
(lima) tahun lalu. Roni adalah kekasih Ratih dari semasa mereka sama – sama
duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Hubungan jarak jauh membuat
keduanya tak bisa menghindari berbagai konflik kecil yang datang silih
berganti. Jarak mereka terbentang puluhan kilometer. Beruntung, saat itu media
komunikasi sudah banyak beredar di kalangan masyarakat, sehingga masalah jarak
bukan persoalan bagi mereka untuk membangun komunikasi.
Selepas lulus SMA,
Ratih dan Roni memutuskan untuk meresmikan hubungan mereka melalui ikatan suci
pernikahan.
“Bee”, terdengar sapaan hangat seorang
pria di ujung sana saat Ratih mengangkat dering ponselnya.
Semenjak awal masa pacaran
mereka memang mempunyai nama panggilan. “Bee” adalah panggilan Roni untuk
Ratih, begitupun sebaliknya.
“Hallo Bee…”, jawab ratih dengan
lembut, tentu saja dengan suara yang terdengar riang. Karena satu dua urusan,
akhir – akhir ini Roni memang sedikit jarang menghubungi kekasihnya itu.
Setelah bercengkerama panjang lebar,
menanyakan kabar, sudah makan atau belum, percakapan – percakapan layaknya dua insan
yang tengah jatuh cinta, Roni meminta Ratih untuk memberikan ponselnya kepada Ayahnya.
Terdengar Roni menyambung pembicaraan
mereka, “Boleh minta tolong berikan ponsel ini pada Ayahmu ?”. “Ayah belum
pulang kerja, ada apa ?”, jawab Ratih dengan nada penasaran. Ayah Ratih memang
bekerja di salah satu bengkel mobil dan biasa pulang di atas jam 8 malam. “Aah
tidak, aku hanya ingin bercengkerama dengannya”, Roni dengan santai menjawab.
“Kalo Ibu, ada di rumah ?”, sambung
Roni dari ujung sana. Ratih yang tidak curiga dengan apa yang akan disampaikan
Roni menjawab, “Ada, mau aku berikan ponsel ini padanya ?”. “Ya, kalau beliau
sedang tidak sibuk, tolong sampaikan aku ingin bicara dengannya”, jawab Roni
semangat.
“Hallo Nak Roni, apa kabar ?”, sang
Ibu langsung menyalami Roni ketika anaknya, Ratih, menjelaskan kalau Roni ingin
berbicara dengannya.
“Alhamdulillah, kabar baik Bu,
Ibu apa kabar ?”, jawab Roni begitu santun. Beberapa menit mereka bercengkerama
melalui telepon saat itu, tibalah saat dimana Roni menyampaikan sesuatu yang
cukup membuat si Ibu terdiam beberapa saat.
“Bu, saya ingin meresmikan hubungan
saya dengan Ratih sesegera mungkin”, terang Roni dengan nada yang terdengar
cukup hati – hati. Ibunda Ratih terdiam sebentar tanpa menjawab pernyataan
Roni. Roni memang sudah dikenalkan Ratih kepada keluarganya sejak mereka sama –
sama duduk di SMA. Kehadiran Roni di kediaman Ratih menjadi lebih sering
semenjak mereka lulus SMA, 7 tahun lalu. Tempat tinggal Roni yang notabene di
luar kota, terpaut jarak puluhan kilometer, terkadang hal ini membuat Roni
terpaksa menginap di rumah keluarga Ratih sebelum akhirnya pulang keesokan
harinya.
Namun demikian, Ibunda Ratih tidak
mengira kalau Roni mempunyai fikiran untuk meresmikan hubungan mereka melalui
ikatan pernikahan secepat ini. Selama ini mereka masih menganggap kalau
hubungan Ratih & Roni sebatas hubungan kekasih antar belia, yang jauh dari
kata serius.
“Bu..”, terdengar suara Roni yang
berusaha memecah keheningan di ujung teleponnya.
“Oh iya Nak..”, jawab sang Ibu setengah
terperanjat.
“Ibu tidak berhak memutuskan hal ini
sekarang, Ibu harus menyampaikan ini terlebih dahulu dan mendiskusikannya
dengan keluarga, Bapak, dan tentu saja Ratih..” lanjut sang Ibu.
“Iya Bu, saya mengerti. Tidak apa –
apa jika memang begitu, saya menunggu jawaban dari Ibu dan keluarga
secepatnya”, terdengar Roni yang berbicara dengan nada setengah memohon.
“Baik Nak, nanti kami kabari
secepatnya.”, begitu pungkas si Ibu.
Satu,
dua hari berlalu, Roni masih menantikan jawaban dari Ratih dan keluarganya.
Sebetulnya dia begitu yakin kalau Ratih akan menerima dan setuju dengan rencana
yang telah ia sampaikan kepada Ibunda Ratih 2 hari yang lalu itu. Dering
telepon yang dia dengar, tak juga menunjukkan nama Bee Ratih di layar
ponselnya. Roni tak berani menghubungi Ratih dan keluarganya untuk menanyakan
hal ini karena takut dikira tidak sabaran. Komunikasi Roni dan Ratih pun
sementara hanya terjalin melaui SMS, itupun sama sekali tidak menyinggung
rencana pernikahan mereka itu.
Satu minggu berlalu,
telepon yang ditunggu akhirnya datang.Entah apa yang membuat wajah Roni
seketika memucat, tangannya menjadi dingin dan gemetaran, dia tampak ragu dan
beberapa kali mengecek suara. “Ehem, eheem”, Roni memastikan kalau dia dapat
berbicara dengan lantang melalui telepon, karena saat itu panggilan yang masuk
memang langsung dari nomor handphone bapaknya Ratih.
“Hallo Nak Roni.”, Bapak Ratih
langsung menyalami Roni begitu Roni mengangkat teleponnya.
“Hallo Pak, apa kabar ?”, jawab Roni
dengan sigap. Setelah bercakap – cakap sebentar, tibalah saat bapaknya Ratih
menyampaikan hal yang ditunggu – tunggu Roni. Percakapan yang saat itu
diselimuti gelak tawa mendadak hening sejak bapaknya Ratih memulai percapakan
dengan nada yang terdengar lebih serius. “Begini Nak Roni..”, bapaknya Ratih
memulai inti pembicaraan.
“Ibu sudah menyampaikan pesan Nak Roni
satu minggu yang lalu..”, bapak Ratih berhenti sejenak, memberikan kesempatan
kepada Roni merespon pernyataannya.
“Iya Pak, waktu itu Bapak sedang tidak
di rumah kata Ratih, sehingga saya menyampaikannya kepada Ibu..”, jawab Roni
yang mengerti kemana arah pembicaraan bapaknya Ratih.
“Iya Nak, pada dasarnya Bapak dan
keluarga, termasuk Ratih, setuju dengan rencana Nak Roni, tentunya sebelumnya
ini pasti sudah dibicarakan antara Nak Roni dengan Ratih, bukan ?”, bapaknya
Ratih melanjutkan pembicaraan.
“Tentu Pak, sebetulnya kami sudah
membicarakan ini sejak lama, namun baru tersampaikan kepada keluarga saat ini”,
jelas Roni.
“Baiklah, kalau begitu Bapak dan
keluarga menunggu kedatangan Nak Roni dan keluarga untuk acara lamaran..”.
Mendengar kalimat tersebut serentak jantung Roni berdegup kencang, rencana
lamaran yang pada awalnya dia kira tidak akan disetujui keluarga Ratih ternyata
salah. Keluarga Ratih justru merespon dengan positif dan menantikan kedatangan
keluarga Roni.
Satu
bulan setelah percakapan Roni dengan bapaknya Ratih melalui telepon, keluarga
Roni datang untuk melamar Ratih. Roni merupakan anak laki – laki satu – satunya
di keluarganya. Dia sulung dari tiga bersaudara. Acara lamaran pun dibalut kian
meriah kala itu, maklum ini merupakan pernikahan putra pertama di keluarga
Roni, sehingga yang terbayang di benak orang tua Roni pun pastilah cucu pertama
yang sudah lama mereka nantikan.
Ratih yang juga merupakan anak
perempuan satu – satunya, juga diberikan kebebasan untuk memilih nuansa acara
lamarannya. Desain ruang lamaran, makanan yang disajikan, termasuk baju apa
yang akan ia kenakan ketika lamaran, sepenuhnya diserahkan kepada Ratih sebagai
bentuk betapa orang tuanya mendukung dia. Hal in merupakan hal yang juga
pertama kali dilakukan di keluarga Ratih mengingat Ratih yang juga anak sulung
di keluarganya.
Enam
bulan setelah lamaran, Roni dan Ratih disatukan dalam ikatan suci pernikahan. Sebuah
pernikahan yang megah dan mewah dengan nuansa putih dan keemasan. Ratih yang
dibalut kebaya putih lengkap dengan sanggul khas pengantin jawa yang dibalut
dengan jilbab nampak begitu anggun. Kecantikan kebaya yang ia kenakan menambah
kecantikan parasnya yang sudah menjadi buah bibir di daerahnya. Roni yang
semula belum mengenakan baju pengantin karena rumahnya yang berada di luar
kota, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk mengenakan baju pengantin dari
rumah, kini sudah berganti baju mengenakan baju pengantin yang mereka siapkan
sebelumnya.
Roni tampak gagah, tampan dengan
senyum yang senantiasa mengukir wajahnya. Mereka bersanding di pelaminan
setelah acara ijab qabul pernikahan Roni selesaikan dengan Ayahanda Ratih di
depan penghulu.
Senyum Ratih dan Roni tidak pernah
hilang dari wajah mereka. Nampak betul kebahagiaan layaknya sang ratu dan raja
sehari kala itu. Lelah akibat banyaknya tamu yang menyalami dan memberi selamat
kepada mereka tampaknya masih dapat dikalahkan dengan mudah oleh kebahagiaan
yang mereka rasakan saat itu.
Mereka
hidup layaknya pasangan pengantin baru yang selalu diselimuti nuansa romantis,
lembut, dan bahagia. Setelah menikah Ratih memang ikut pindah ke kediaman orang
tua Roni di Jakarta. Keadaan ekonomi Roni yang belum memungkinkan untuk membeli
rumah sendiri, membuat mereka terpaksa sementara tinggal satu atap dengan orang
tua Roni.
Kehidupan
mereka baik – baik saja dan bahagia walau sampai tahun keempat pernihakan
mereka, mereka belum juga dikaruniai buah hati.
Ratih dan Roni yang saat itu masih
tinggal di rumah orang tua Roni, tiba – tiba terdiam ketika di meja makan malam
Ibunda Roni memulai percakapan yang menyinggung kehadiran buat hati.
“Ratiih..”, panggil sang Ibu lirih
kepada Ratih.
“Iya Bu..”, Ratih seraya mengangkat
wajahnya menoleh ke arah kursi Ibunda Roni.
“Sejak awal pernikahan kalian,
sejujurnya Ayah dan Ibu begitu menantikan kehadiran cucu, apakah kalian tidak
memiliki keinginan untuk segera mempunyai buah hati ?”, lanjut sang Ibu.
Ratih memoleh ke arah Roni yang juga
tampak menyimak perkataan ibundanya.
Ayah dan Ibunda Roni, Della dan Donny,
adik pertama dan kedua Roni saat itu tiba – tiba termenung. Mereka semua diam
menantikan apa yang akan disampaikan oleh Roni dan Ratih terkait pertanyaan
ibundanya. Sejenak suasana di meja makan menjadi hening hingga Roni yang
akhirnya memecah keheningan kala itu. “Kami sedang berusaha Bu, doakan agar
Allah menitipkan buat hati kepada kami secepatnya.”, lugas Roni menjawab
pertanyaan ibundanya, membuat Ratih pun kini kembali mampu mengangkat wajahnya
setelah sebelumnya hanya mampu menunduk mendengar pertanyaan ibunya.
Berbulan
– bulan setelah kejadian pada waktu makan malan keluarga enam bulan yang lalu
itu, Ratih dan Roni belum juga dikaruniai buah hati. Sehingga Ibunda Roni
semakin sering menanyakan hal yang sama terkait buah hati kepada Roni dan
Ratih.
Ratih dan Roni sudah mencoba berbagai
cara untuk bisa mempunyai keturunan. Konsultasi ke dokter spesialis kandungan,
meminum ramuan yang dikatakan bisa menyuburkan kandungan, sampai mencoba
pengobatan alternatif sudah Roni dan Ratih jalani.
Suatu
malam ketika Roni pulang kerja, Ratih tampak menyambut suaminya dengan wajah
sumringah di depan pintu.
“Tebaaaak, aku punya kejutan Ayah..”,
dengan nada sumringah Ratih sambil bergelayut manja di pundak suaminya.
“Kejutan apa sayaaaang ?”, sambut Roni
dengan tatapan yang lembut kepada Ratih.
“Setelah aku lihat tanggal di
kalender, aku sudah telat haid 3 minggu Yah..”, dengan wajah merona Ratih
akhirnya menyampaikan kabar gembira itu.
Tentu saja dengan nada yang juga
bahagia, Roni merangkul istrinya dengan hangat, “sudah kamu sampaikan kepada
Ayah dan Ibu kabar gembira ini ?”.
“Belum, aku menunggu kamu pulang Yah.”,
Ratih menjawab dengan senyum yang tetap melingkar di wajahnya.
Mereka larut dalam kebahagiaan yang
bertahun – tahun dinantikan. Yaa, kebahagiaan akan hadirnya buah hati yang
sejak lama juga dinantikan oleh orang tua mereka.
“Ratih
sudah telat haid 3 minggu Yah, Bu..”, terang Roni memecah keheningan makan
malam di suatu acara makan malam keluarga saat itu. Kabar itu tentu saja
membuat orang tua Roni girang, terlebih Ibunda Roni yang saat itu juga langsung
memeluk dan memberi ucapan selamat kepada Roni dan Ratih.
“Sudah kamu periksakan ke dokter, Nak
?”, lanjut sang Ibu dengan nada bahagia. “Km harus jaga kandungan itu baik –
baik Nak Ratih, jangan kecapean. Sudah tidak sabar rasanya Ibu menantikan cucu
kesayangan Ibu lahir”, lanjut sang Ibu sambil mengelus – elus perut Ratih.
Sejak
kabar kehamilannya, Ratih memang diperlakukan seperti ratu bahkan oleh
mertuanya. Dia dilarang melakukan pekerjaan berat, tidak boleh terlalu capek,
selalu disuguhi makanan - makanan kesukaan Ratih di setiap kesempatan, tentu
saja Ratih tidak diperkenankan bepergian ke luar rumah sendirian. Ketika Roni
tidak bisa mengantar istrinya karena urusan pekerjaan, maka adik – adik Roni
bahkan Ibu mertuanya selalu siap siaga menemani Ratih ke luar rumah.
Satu
minggu berlalu, Roni baru sempat mengantar Ratih untuk memeriksakan
kehamilannya ke dokter kandungan. Saat ini menginjak minggu keempat Ratih telat
haid.
Akhir – akhir ini Roni memang begitu
disibukkan dengan pekerjaannya. Kesibukan seorang pelayan di sebuah SPBU memang
akan begitu meningkat menjelang Hari Raya, banyaknya para pengendara yang mudik
memaksa Roni dan teman – temannya selalu pulang lebih larut, bahkan baru bisa
pulang keesokan harinya.
Sesampainya di dokter kandungan,
dengan semangat dan hati yang berdebar – debar Ratih memeriksakan kandungannya,
dokter Elly, dokter yang memeriksa kandungannya saat itu.
“Kapan haid terakhir, Bu?”, tanya
Dokter Elly.
“Empat minggu yang lalu, Dok.”, jawab Ratih
lirih.
Ratih yang berbaring di atas kasur
pemeriksaan nampak menikmatnya dengan wajah sumringah menanti penjelasan sang
dokter tentang janin yang dikandungnya. Sementara Roni duduk di kursi di
samping tempat Ratih berbaring, asyik memperhatikan tangan dokter yang terampil
memeriksa kondisi kehamilan Ratih.
5 menit berlalu,
sang dokter tampak mengernyitkan keningnya, “Sudah memeriksakan ke dokter
kandungan sebelumnya ?”, tanya dokter Elly. “Belum Dok.”, jawab Ratih santai.
Dokter tampak semakin mengernyitkan
keningnya. Melihat ekspresi wajah dokter Elly, Roni mulai tertarik untuk
menyampaikan pertanyaan – pertanyaan kepada dokter Elly. “Ada apa Dok ?
Bagaimana hasil pemeriksaannya ? Apakah di usia empat minggu sudah bisa
diketahui jenis kelaminnya ?”, Roni bertanya dengan begitu antusias.
“Mari turun Bu Ratih..”, pinta dokter
seraya menggandeng tangan Ratih ke kursi di depan meja kerjanya.
Dengan wajah harap – harap cemas Roni
dan Ratih menantikan penjelasan sang dokter berikutnya.
“Mohon maaf Pak Roni dan Ibu Ratih,
namun sampai saat ini, di dalam rahim Ibu Ratih belum tampak adanya janin, Ibu
Ratih belum hamil sampai pemeriksaan sejauh ini Pak, Bu..”, Dokter Elly
menjelaskan dengan nada yang meneduhkan dan hati – hati.
Saat itu juga wajah Ratih tampak
murung, ia menundukan wajahnya.
“Jangan berkecil hati Pak, Bu,
teruslah berusaha, Insya Allah, Allah yang akan memberikan kemudahan atas usaha
Bapak dan Ibu..”, lanjut dokter Elly setengah membesarkan hati Ratih.
1
minggu setelah pemeriksaan di dokter Elly, benar saja, Ratih memang tidak sedang
hamil. Dia haid. Betapa kecewanya Ratih pada saat itu, marah, malu, sedih
berkecamuk dalam pikirannya.
“Apa yang harus aku sampaikan pada
suami dan mertuaku ?”, fikir Ratih dalam hati. “Tidak kah mereka akan mengira
kalau selama ini aku hanya mengada – ada ?”. Pikiran – pikiran seperti itu
menghantui Ratih, membuatnya tidak bisa memejamkan mata malam itu.
Roni yang menyadari kegelisahaan Ratih
kala itu, menegur Ratih dengan lembut. “Apa yang sedang kamu pikirkan Bun ?”,
tanya Roni dengan lembut.
Setelah Ratih menatap wajah Roni
sejenak, dengan nada terisak akhirnya dia menyampaikan pada suaminya itu kalau
dia memang benar tidak hamil seperti yang disampaikan Dokter Elly minggu lalu.
Tangisnya pecah, pipinya basah dialiri air mata yang mengalir.
Melihat betapa terpukulnya sang istri
waktu itu, Roni memeluknya dengan erat, membelai punggung Ratih dengan hangat
seolah – olah tangannya berbicara, “Tidak apa – apa sayaang, tidak perlu
menangis. Aku tak apa”. Di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Roni tidak memungkiri
kalau sejujurnya, terbesit juga kekecewaan baginya.
Ibunda
Roni yang tidak pernah berhenti menanyakan kabar kehamilan kepada Ratih dan
Roni membuat Ratih semakin sungkan untuk menyampaikan kabar yang menurutnya
akan begitu mengecewakan bagi mertuanya itu. “Apa yang harus aku sampaikan
padamu, Ibu ? Bagaimana aku harus memulai percakapaan ini ?”, bisik Ratih di
dalam hati.
Tidak kuasa melihat keceriaan sang Ibu
ketika menanyakan kabar janin yang sepengetahuannya saat itu memang benar
adanya, akhirnya Ratih memutuskan menyampaikan kabar itu kepada Ibundanya.
Ratih tak kuasa menahan air mata ketika menyampaikan kata demi kata tentang
kebenaran kehamilannya.
Betapa terkejutnya Ibunda Roni
mendengar kabar itu. Betapapun dia kecewa, dia mengerti bahwa Ratih pastilah
menjadi orang yang paling kecewa dalam hal ini. Ibunda Roni berusaha tetap
tenang dan member support kepada Ratih dan Roni. Hubungan mereka tetap
berjalan harmonis, Ibunda Roni tidak lagi menyinggung masalah buah hati.
~~~Masalah baru~~~
Meski sang suami,
Roni, Ayah & Ibu Roni, juga adik – adiknya tidak pernah lagi menyinggung masalah
buah hati, tapi perasaan Ratih tetap saja merasa bersalah, ia merasa kurang
sempurna sebagai istri, sebagai menantu. Ditambah lagi setelah kejadian
kemarin, aaah, perasaan Ratih semakin tak menentu.
Hingga tiba suatu malam, Roni yang
hari itu pulang lebih cepat dari tempat kerjanya mengajak Ratih untuk pergi
makan malam di luar.
Ratih tentu menyambutnya dengan
hangat, karena hal ini juga yang sangat dinantikan Ratih selama ini.
Sambil menikmati makan malam di sebuah
restoran khas makanan Sunda, mereka tiada henti membahas masa – masa indah yang
pernah mereka jalani semasa pacaran. Penuh gelak tawa dan saling ledek,
ah indahnya melihat kemesraan pasangan ini.
Entah
apa yang difikirkan Roni saat itu, entah dia sudah dirasuki arwah gadis yang
gentayangan mencari teman hidup atau dirasuki arwah lelaki buaya yang tidak
pernah puas bermain perempuan.
“Bun, kalo Ayah menikah lagi, apakah
bunda ijinkan ?”, Roni memulai diskusi yang membuat hati Ratih mendadak panas
kala itu sambil menundukkan kepala. Yah, ekspresinya tampak seperti seorang
manusia tidak berperasaan yang seolah dengan penuh penyesalan terpaksa harus memohonankan
sesuatu yang gila.
Gila, ya, gila menurut saya.
Bagaimana tidak gila, disaat sang
istri belum lama berduka atas kehamilan bertahun - tahun yang dinantikannya
namun ternyata salah, sang suami yang begitu dicintainya justru meminta ijin
kepadanya untuk menikah lagi.
Ratih terdiam, tangannya tampak
semakin kuat memegang gelas yang berisi ice lemon tea. Tidak satu pun
kata yang Ratih keluarkan untuk menimpali suaminya kala itu. Ratih ingin
suaminya tahu, bahwa hanya dengan diam itu suatu pertanda kalau dia benar-
benar tidak mengerti dengan apa yang disampaikan suaminya 1 menit yang lalu
itu.
“Ayah pengen menikah lagi supaya kita
bisa punya keturunan Bun, Ayah ingin segera ngasih Ayah dan Ibu cucu”,
lanjut Roni setengah memelas. Yah, kalo saja Roni memelas sambil mengeluarkan
air mata kala itu, itulah air mata buaya yang penuh keegoisan.
Ratih tetap tak menggubris pernyataan –
pernyataan Roni yang semakin panjang dan lebar namun tetap tak masuk akal bagi
Ratih.
Pernyaataan
Roni malam itu, tentu saja cukup ampuh membuat Ratih tidak bisa tidur nyenyak
berhari – hari. Bagaimana bisa seorang suami yang memintanya kepada orang
tuanya, suami yang telah mengajaknya hidup bersama di luar kota mengatakan
ingin menikah lagi ?
Dimana janji – janji yang katanya akan
menjadikan Ratih sebagai satu – satunya wanita yang akan menemani sepanjang
hidup Roni. Satu – satunya wanita yang berhak menjadi ibu dari anak – anaknya Roni.
Satu – satunya wanita yang boleh memanggil suami kepada Roni.
Aaaah, entahlah, mungkin Roni sedang
tidak waras kala itu.
Kian
hari sikap Roni semakin aneh. Dia semakin sering menyinngung masalah buah hati,
bahkan di depan orang tuanya. Hal itu tentu membuat Ratih semakin terpukul dan
terluka.
Dengan penuh ragu – ragu, Ratih
akhirnya mengajak Roni berbicara sesaat sebelum mereka berangkat tidur.
“Yah, maafkan bunda kalo belum bisa
ngasih Ayah keturunan sampai sekarang, Bunda juga bingung harus berbuat apa”,
Roni mulai menyimak pembicaraan istrinya.
“Tapi Bunda juga tidak bisa menerima
wanita lain yang akan sama - sama berstatus sebagai istri Ayah dengan Bunda”,
lanjut Ratih sambil berurai air mata.
Melihat hal ini, Roni memeluk Ratih, “Ayah
menikah hanya supaya bisa punya momongan aja Bun, Ayah ingin ngasih cucu
buat Ayah dan Ibu, Ayah tidak akan menelentarkan Bunda”.
Panjang lebar percakapan Ratih dengan
suaminya malam itu, hingga entah kalimat apa yang membuat Ratih percaya untuk merestui
niat suaminya itu untuk menikah lagi.
Mungkin dengan janji, “Ayah tetap akan
menomor satukan Bunda”, “Ayah akan tetap tinggal disini bersama Bunda”, “Ayah
akan bersikap adil”, “Setelah memiliki momongan Ayah akan bercerai dan kembali
kepada Bunda”.
Aaah, entahlah, yang jelas menurut
saya, Ratih lah yang terlalu gegabah telah merestui niat suaminya itu.
Tak lama berselang,
Roni melangsungkan pernikahan dengan wanita kedua, Nova namanya. Ratih, istri
pertama yang telah menemaninya bertahun – tahun, bahkan hadir di pernikahan
itu, ikut mengantarkan suaminya melakukan seserahan untuk wanita yang akan
berbagi kasih Roni dengannya setelah itu.
Setelah menikah, Roni tinggal di rumah
orang tua Nova. Bukan satu atau dua hari, bahkan berminggu – minggu. Ratih yang
ditinggalkan suaminya di rumah mertuanya, semakin marah dengan sikap suaminya. Jangankan
telpon, SMS Ratih tak jarang tidak dibalas suaminya, telepon Ratih, mana
pernah Roni angkat kalau Roni sedang bersama istri barunya.
Terbayang
bagaimana perasaan seorang perempuan yang dinikahi seorang lelaki, diajak hidup
dengan suaminya di luar kota yang jauh dari orang tuanya, setelah bertahun –
tahun mengabdi, suami menikah lagi hanya dengan alasan ingin mempunyai
momongan, bagi saya, alasan ini tetap tidak dapat diterima.
Komunikasi Ratih dengan suami semakin
sulit dilakukan. Ditambah lagi over possessive istri kedua Roni yang
kadang melarang Roni untuk sekedar mengangkat telpon Ratih, apalagi untuk
membiarkan Roni pulang ke rumah orang tuanya, pulang ke rumah dimana terdapat
istri pertamanya.
Sekedar memberikan uang bulanan masih
Roni lakukan terhadap Ratih. Uang bulanan yang hanya cukup untuk membeli sabun,
bedak, beras, tapi tidak untuk membeli perhatian dan kasih sayang suami yang
selayaknya dia dapatkan penuh tanpa harus meminta.
Roni hanya datang satu hari dalam seminggu kepada Ratih, paling
sering dua hari. Inikah yang dikatakan adil ? Inikah yang dikatakan kalo Roni
tidak akan meninggalkan dan menelantarkan Ratih ? Inikah yang dikatakan kalo
Roni akan tetap menomorsatukan Ratih. Aaah, batin Ratih semakin tak menentu
rasanya. Rasa cinta yang kuat terhadap suaminya, keinginan untuk tetap
mempertahankan rumah tangga dengan suaminya, tidak mampu membuatnya menuruti
keinginan orang tuanya yang memintanya bercerai dari suaminya.
Ratih,
walau dengan hati yang perih setiap hari, melewati setiap malam yang dingin
sendiri, hanya ditemani bayangan, sedang apa suamiku dengan istri barunya ?
Sudah makan kah dia ? Tidak kah dia
ingin tahu aku sudah makan apa belum ? Tidak kah dia kangen padaku ?
Merasa
tidak tahan lagi dengan suaminya, Ratih mengajukan gugatan cerai, tapi Roni
menolaknya, “Aku begitu mencintaimu Bun, aku tidak ingin bercerai sama Bunda.” Selalu,
itu dan itu yang Roni sampaikan ketika Ratih menyampaikan keinginan berpisah
dengannya.
Entahlah, mungkin karena rasa cinta
Ratih kepada Roni yang begitu kuat, perlahan hati Ratih mulai luluh dan pasrah
lagi pada keadaan setiap kali mendengar pernyataan suaminya itu.
Ratih hanya menunggu suami yang
dicintainya bisa kembali padanya, atau paling tidak, dia mendapatkan hak yang
layak sebagai seorang istri, hak untuk diperlakukan adil seperti yang Roni
janjikan pada saat memohon restunya untuk menikah lagi.
Kabar terakhir yang saya dengar, istri
kedua Roni sedang mengandung, dan Ratih belum juga ada tanda – tanda itu. Hal
ini tentu semakin dimanfaatkan oleh istri kedua Roni untuk semakin ‘mengekang’
Roni agar semakin jarang menemui istri pertamnya.
Aaah, pernikahan yang usianya masih
dini, kenapa sudah diterjang angin yang begitu kencang seperti ini ?
Entahlah, mungkin Allah punya rencana
indah lainnya.
~~~
Ya Allah, entah apa yang akan terjadi
kalo saya berada di posisi Ratih.
Perih rasanya hati ini mendengar kisap
rumah tangga sahabat kecil yang dulu selalu ceria itu.
Tidak rela rasanya atas apa yang
terjadi pada sahabatku itu, kuatkan dia, berikan petunjuk yang terbaik menurutMu
untuknya.
Be strong sahabat, be happy always :(
No comments:
Post a Comment