Friday, December 5, 2014

Untukmu Sahabat - "Kuharap Pelangi di Hujan Pagi Ini"


"Tidak ada manusia yang pintar berumah tangga". Sejenak kata – kata itu membuat saya termenung. Benarkah ?

Ratih tak pernah membayangkan bahwa ia akan menjadi sosok perempuan yang dipilih-Nya untuk menjadi lebih kuat dengan cara yang teramat berat.
Roni, suami yang dinikahinya sekitar 5 (lima) tahun lalu. Roni adalah kekasih Ratih dari semasa mereka sama – sama duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Hubungan jarak jauh membuat keduanya tak bisa menghindari berbagai konflik kecil yang datang silih berganti. Jarak mereka terbentang puluhan kilometer. Beruntung, saat itu media komunikasi sudah banyak beredar di kalangan masyarakat, sehingga masalah jarak bukan persoalan bagi mereka untuk membangun komunikasi.
Selepas lulus SMA, Ratih dan Roni memutuskan untuk meresmikan hubungan mereka melalui ikatan suci pernikahan.
“Bee”, terdengar sapaan hangat seorang pria di ujung sana saat Ratih mengangkat dering ponselnya.
Semenjak awal masa pacaran mereka memang mempunyai nama panggilan. “Bee” adalah panggilan Roni untuk Ratih, begitupun sebaliknya.
“Hallo Bee…”, jawab ratih dengan lembut, tentu saja dengan suara yang terdengar riang. Karena satu dua urusan, akhir – akhir ini Roni memang sedikit jarang menghubungi kekasihnya itu.
Setelah bercengkerama panjang lebar, menanyakan kabar, sudah makan atau belum, percakapan – percakapan layaknya dua insan yang tengah jatuh cinta, Roni meminta Ratih untuk memberikan ponselnya kepada Ayahnya.
Terdengar Roni menyambung pembicaraan mereka, “Boleh minta tolong berikan ponsel ini pada Ayahmu ?”. “Ayah belum pulang kerja, ada apa ?”, jawab Ratih dengan nada penasaran. Ayah Ratih memang bekerja di salah satu bengkel mobil dan biasa pulang di atas jam 8 malam. “Aah tidak, aku hanya ingin bercengkerama dengannya”, Roni dengan santai menjawab.
“Kalo Ibu, ada di rumah ?”, sambung Roni dari ujung sana. Ratih yang tidak curiga dengan apa yang akan disampaikan Roni menjawab, “Ada, mau aku berikan ponsel ini padanya ?”. “Ya, kalau beliau sedang tidak sibuk, tolong sampaikan aku ingin bicara dengannya”, jawab Roni semangat.
“Hallo Nak Roni, apa kabar ?”, sang Ibu langsung menyalami Roni ketika anaknya, Ratih, menjelaskan kalau Roni ingin berbicara dengannya.
Alhamdulillah, kabar baik Bu, Ibu apa kabar ?”, jawab Roni begitu santun. Beberapa menit mereka bercengkerama melalui telepon saat itu, tibalah saat dimana Roni menyampaikan sesuatu yang cukup membuat si Ibu terdiam beberapa saat.
“Bu, saya ingin meresmikan hubungan saya dengan Ratih sesegera mungkin”, terang Roni dengan nada yang terdengar cukup hati – hati. Ibunda Ratih terdiam sebentar tanpa menjawab pernyataan Roni. Roni memang sudah dikenalkan Ratih kepada keluarganya sejak mereka sama – sama duduk di SMA. Kehadiran Roni di kediaman Ratih menjadi lebih sering semenjak mereka lulus SMA, 7 tahun lalu. Tempat tinggal Roni yang notabene di luar kota, terpaut jarak puluhan kilometer, terkadang hal ini membuat Roni terpaksa menginap di rumah keluarga Ratih sebelum akhirnya pulang keesokan harinya.
Namun demikian, Ibunda Ratih tidak mengira kalau Roni mempunyai fikiran untuk meresmikan hubungan mereka melalui ikatan pernikahan secepat ini. Selama ini mereka masih menganggap kalau hubungan Ratih & Roni sebatas hubungan kekasih antar belia, yang jauh dari kata serius.
“Bu..”, terdengar suara Roni yang berusaha memecah keheningan di ujung teleponnya.
“Oh iya Nak..”, jawab sang Ibu setengah terperanjat.
“Ibu tidak berhak memutuskan hal ini sekarang, Ibu harus menyampaikan ini terlebih dahulu dan mendiskusikannya dengan keluarga, Bapak, dan tentu saja Ratih..” lanjut sang Ibu.
“Iya Bu, saya mengerti. Tidak apa – apa jika memang begitu, saya menunggu jawaban dari Ibu dan keluarga secepatnya”, terdengar Roni yang berbicara dengan nada setengah memohon.
“Baik Nak, nanti kami kabari secepatnya.”, begitu pungkas si Ibu.
                Satu, dua hari berlalu, Roni masih menantikan jawaban dari Ratih dan keluarganya. Sebetulnya dia begitu yakin kalau Ratih akan menerima dan setuju dengan rencana yang telah ia sampaikan kepada Ibunda Ratih 2 hari yang lalu itu. Dering telepon yang dia dengar, tak juga menunjukkan nama Bee Ratih di layar ponselnya. Roni tak berani menghubungi Ratih dan keluarganya untuk menanyakan hal ini karena takut dikira tidak sabaran. Komunikasi Roni dan Ratih pun sementara hanya terjalin melaui SMS, itupun sama sekali tidak menyinggung rencana pernikahan mereka itu.
Satu minggu berlalu, telepon yang ditunggu akhirnya datang.Entah apa yang membuat wajah Roni seketika memucat, tangannya menjadi dingin dan gemetaran, dia tampak ragu dan beberapa kali mengecek suara. “Ehem, eheem”, Roni memastikan kalau dia dapat berbicara dengan lantang melalui telepon, karena saat itu panggilan yang masuk memang langsung dari nomor handphone bapaknya Ratih.
“Hallo Nak Roni.”, Bapak Ratih langsung menyalami Roni begitu Roni mengangkat teleponnya.
“Hallo Pak, apa kabar ?”, jawab Roni dengan sigap. Setelah bercakap – cakap sebentar, tibalah saat bapaknya Ratih menyampaikan hal yang ditunggu – tunggu Roni. Percakapan yang saat itu diselimuti gelak tawa mendadak hening sejak bapaknya Ratih memulai percapakan dengan nada yang terdengar lebih serius. “Begini Nak Roni..”, bapaknya Ratih memulai inti pembicaraan.
“Ibu sudah menyampaikan pesan Nak Roni satu minggu yang lalu..”, bapak Ratih berhenti sejenak, memberikan kesempatan kepada Roni merespon pernyataannya.
“Iya Pak, waktu itu Bapak sedang tidak di rumah kata Ratih, sehingga saya menyampaikannya kepada Ibu..”, jawab Roni yang mengerti kemana arah pembicaraan bapaknya Ratih.
“Iya Nak, pada dasarnya Bapak dan keluarga, termasuk Ratih, setuju dengan rencana Nak Roni, tentunya sebelumnya ini pasti sudah dibicarakan antara Nak Roni dengan Ratih, bukan ?”, bapaknya Ratih melanjutkan pembicaraan.
“Tentu Pak, sebetulnya kami sudah membicarakan ini sejak lama, namun baru tersampaikan kepada keluarga saat ini”, jelas Roni.
“Baiklah, kalau begitu Bapak dan keluarga menunggu kedatangan Nak Roni dan keluarga untuk acara lamaran..”. Mendengar kalimat tersebut serentak jantung Roni berdegup kencang, rencana lamaran yang pada awalnya dia kira tidak akan disetujui keluarga Ratih ternyata salah. Keluarga Ratih justru merespon dengan positif dan menantikan kedatangan keluarga Roni.
                Satu bulan setelah percakapan Roni dengan bapaknya Ratih melalui telepon, keluarga Roni datang untuk melamar Ratih. Roni merupakan anak laki – laki satu – satunya di keluarganya. Dia sulung dari tiga bersaudara. Acara lamaran pun dibalut kian meriah kala itu, maklum ini merupakan pernikahan putra pertama di keluarga Roni, sehingga yang terbayang di benak orang tua Roni pun pastilah cucu pertama yang sudah lama mereka nantikan.
Ratih yang juga merupakan anak perempuan satu – satunya, juga diberikan kebebasan untuk memilih nuansa acara lamarannya. Desain ruang lamaran, makanan yang disajikan, termasuk baju apa yang akan ia kenakan ketika lamaran, sepenuhnya diserahkan kepada Ratih sebagai bentuk betapa orang tuanya mendukung dia. Hal in merupakan hal yang juga pertama kali dilakukan di keluarga Ratih mengingat Ratih yang juga anak sulung di keluarganya.
                Enam bulan setelah lamaran, Roni dan Ratih disatukan dalam ikatan suci pernikahan. Sebuah pernikahan yang megah dan mewah dengan nuansa putih dan keemasan. Ratih yang dibalut kebaya putih lengkap dengan sanggul khas pengantin jawa yang dibalut dengan jilbab nampak begitu anggun. Kecantikan kebaya yang ia kenakan menambah kecantikan parasnya yang sudah menjadi buah bibir di daerahnya. Roni yang semula belum mengenakan baju pengantin karena rumahnya yang berada di luar kota, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk mengenakan baju pengantin dari rumah, kini sudah berganti baju mengenakan baju pengantin yang mereka siapkan sebelumnya.
Roni tampak gagah, tampan dengan senyum yang senantiasa mengukir wajahnya. Mereka bersanding di pelaminan setelah acara ijab qabul pernikahan Roni selesaikan dengan Ayahanda Ratih di depan penghulu.
Senyum Ratih dan Roni tidak pernah hilang dari wajah mereka. Nampak betul kebahagiaan layaknya sang ratu dan raja sehari kala itu. Lelah akibat banyaknya tamu yang menyalami dan memberi selamat kepada mereka tampaknya masih dapat dikalahkan dengan mudah oleh kebahagiaan yang mereka rasakan saat itu.
                Mereka hidup layaknya pasangan pengantin baru yang selalu diselimuti nuansa romantis, lembut, dan bahagia. Setelah menikah Ratih memang ikut pindah ke kediaman orang tua Roni di Jakarta. Keadaan ekonomi Roni yang belum memungkinkan untuk membeli rumah sendiri, membuat mereka terpaksa sementara tinggal satu atap dengan orang tua Roni.
                Kehidupan mereka baik – baik saja dan bahagia walau sampai tahun keempat pernihakan mereka, mereka belum juga dikaruniai buah hati.
Ratih dan Roni yang saat itu masih tinggal di rumah orang tua Roni, tiba – tiba terdiam ketika di meja makan malam Ibunda Roni memulai percakapan yang menyinggung kehadiran buat hati.
“Ratiih..”, panggil sang Ibu lirih kepada Ratih.
“Iya Bu..”, Ratih seraya mengangkat wajahnya menoleh ke arah kursi Ibunda Roni.
“Sejak awal pernikahan kalian, sejujurnya Ayah dan Ibu begitu menantikan kehadiran cucu, apakah kalian tidak memiliki keinginan untuk segera mempunyai buah hati ?”, lanjut sang Ibu.
Ratih memoleh ke arah Roni yang juga tampak menyimak perkataan ibundanya.
Ayah dan Ibunda Roni, Della dan Donny, adik pertama dan kedua Roni saat itu tiba – tiba termenung. Mereka semua diam menantikan apa yang akan disampaikan oleh Roni dan Ratih terkait pertanyaan ibundanya. Sejenak suasana di meja makan menjadi hening hingga Roni yang akhirnya memecah keheningan kala itu. “Kami sedang berusaha Bu, doakan agar Allah menitipkan buat hati kepada kami secepatnya.”, lugas Roni menjawab pertanyaan ibundanya, membuat Ratih pun kini kembali mampu mengangkat wajahnya setelah sebelumnya hanya mampu menunduk mendengar pertanyaan ibunya.
                Berbulan – bulan setelah kejadian pada waktu makan malan keluarga enam bulan yang lalu itu, Ratih dan Roni belum juga dikaruniai buah hati. Sehingga Ibunda Roni semakin sering menanyakan hal yang sama terkait buah hati kepada Roni dan Ratih.
Ratih dan Roni sudah mencoba berbagai cara untuk bisa mempunyai keturunan. Konsultasi ke dokter spesialis kandungan, meminum ramuan yang dikatakan bisa menyuburkan kandungan, sampai mencoba pengobatan alternatif sudah Roni dan Ratih jalani.
                Suatu malam ketika Roni pulang kerja, Ratih tampak menyambut suaminya dengan wajah sumringah di depan pintu.
“Tebaaaak, aku punya kejutan Ayah..”, dengan nada sumringah Ratih sambil bergelayut manja di pundak suaminya.
“Kejutan apa sayaaaang ?”, sambut Roni dengan tatapan yang lembut kepada Ratih.
“Setelah aku lihat tanggal di kalender, aku sudah telat haid 3 minggu Yah..”, dengan wajah merona Ratih akhirnya menyampaikan kabar gembira itu.
Tentu saja dengan nada yang juga bahagia, Roni merangkul istrinya dengan hangat, “sudah kamu sampaikan kepada Ayah dan Ibu kabar gembira ini ?”.
“Belum, aku menunggu kamu pulang Yah.”, Ratih menjawab dengan senyum yang tetap melingkar di wajahnya.
Mereka larut dalam kebahagiaan yang bertahun – tahun dinantikan. Yaa, kebahagiaan akan hadirnya buah hati yang sejak lama juga dinantikan oleh orang tua mereka.
                “Ratih sudah telat haid 3 minggu Yah, Bu..”, terang Roni memecah keheningan makan malam di suatu acara makan malam keluarga saat itu. Kabar itu tentu saja membuat orang tua Roni girang, terlebih Ibunda Roni yang saat itu juga langsung memeluk dan memberi ucapan selamat kepada Roni dan Ratih.
“Sudah kamu periksakan ke dokter, Nak ?”, lanjut sang Ibu dengan nada bahagia. “Km harus jaga kandungan itu baik – baik Nak Ratih, jangan kecapean. Sudah tidak sabar rasanya Ibu menantikan cucu kesayangan Ibu lahir”, lanjut sang Ibu sambil mengelus – elus perut Ratih.
                Sejak kabar kehamilannya, Ratih memang diperlakukan seperti ratu bahkan oleh mertuanya. Dia dilarang melakukan pekerjaan berat, tidak boleh terlalu capek, selalu disuguhi makanan - makanan kesukaan Ratih di setiap kesempatan, tentu saja Ratih tidak diperkenankan bepergian ke luar rumah sendirian. Ketika Roni tidak bisa mengantar istrinya karena urusan pekerjaan, maka adik – adik Roni bahkan Ibu mertuanya selalu siap siaga menemani Ratih ke luar rumah.
                Satu minggu berlalu, Roni baru sempat mengantar Ratih untuk memeriksakan kehamilannya ke dokter kandungan. Saat ini menginjak minggu keempat Ratih telat haid.
Akhir – akhir ini Roni memang begitu disibukkan dengan pekerjaannya. Kesibukan seorang pelayan di sebuah SPBU memang akan begitu meningkat menjelang Hari Raya, banyaknya para pengendara yang mudik memaksa Roni dan teman – temannya selalu pulang lebih larut, bahkan baru bisa pulang keesokan harinya.
Sesampainya di dokter kandungan, dengan semangat dan hati yang berdebar – debar Ratih memeriksakan kandungannya, dokter Elly, dokter yang memeriksa kandungannya saat itu.
“Kapan haid terakhir, Bu?”, tanya Dokter Elly.
“Empat minggu yang lalu, Dok.”, jawab Ratih lirih.
Ratih yang berbaring di atas kasur pemeriksaan nampak menikmatnya dengan wajah sumringah menanti penjelasan sang dokter tentang janin yang dikandungnya. Sementara Roni duduk di kursi di samping tempat Ratih berbaring, asyik memperhatikan tangan dokter yang terampil memeriksa kondisi kehamilan Ratih.
5 menit berlalu, sang dokter tampak mengernyitkan keningnya, “Sudah memeriksakan ke dokter kandungan sebelumnya ?”, tanya dokter Elly. “Belum Dok.”, jawab Ratih santai.
Dokter tampak semakin mengernyitkan keningnya. Melihat ekspresi wajah dokter Elly, Roni mulai tertarik untuk menyampaikan pertanyaan – pertanyaan kepada dokter Elly. “Ada apa Dok ? Bagaimana hasil pemeriksaannya ? Apakah di usia empat minggu sudah bisa diketahui jenis kelaminnya ?”, Roni bertanya dengan begitu antusias.
“Mari turun Bu Ratih..”, pinta dokter seraya menggandeng tangan Ratih ke kursi di depan meja kerjanya.
Dengan wajah harap – harap cemas Roni dan Ratih menantikan penjelasan sang dokter berikutnya.
“Mohon maaf Pak Roni dan Ibu Ratih, namun sampai saat ini, di dalam rahim Ibu Ratih belum tampak adanya janin, Ibu Ratih belum hamil sampai pemeriksaan sejauh ini Pak, Bu..”, Dokter Elly menjelaskan dengan nada yang meneduhkan dan hati – hati.
Saat itu juga wajah Ratih tampak murung, ia menundukan wajahnya.
“Jangan berkecil hati Pak, Bu, teruslah berusaha, Insya Allah, Allah yang akan memberikan kemudahan atas usaha Bapak dan Ibu..”, lanjut dokter Elly setengah membesarkan hati Ratih.
                1 minggu setelah pemeriksaan di dokter Elly, benar saja, Ratih memang tidak sedang hamil. Dia haid. Betapa kecewanya Ratih pada saat itu, marah, malu, sedih berkecamuk dalam pikirannya.
“Apa yang harus aku sampaikan pada suami dan mertuaku ?”, fikir Ratih dalam hati. “Tidak kah mereka akan mengira kalau selama ini aku hanya mengada – ada ?”. Pikiran – pikiran seperti itu menghantui Ratih, membuatnya tidak bisa memejamkan mata malam itu.
Roni yang menyadari kegelisahaan Ratih kala itu, menegur Ratih dengan lembut. “Apa yang sedang kamu pikirkan Bun ?”, tanya Roni dengan lembut.
Setelah Ratih menatap wajah Roni sejenak, dengan nada terisak akhirnya dia menyampaikan pada suaminya itu kalau dia memang benar tidak hamil seperti yang disampaikan Dokter Elly minggu lalu. Tangisnya pecah, pipinya basah dialiri air mata yang mengalir.
Melihat betapa terpukulnya sang istri waktu itu, Roni memeluknya dengan erat, membelai punggung Ratih dengan hangat seolah – olah tangannya berbicara, “Tidak apa – apa sayaang, tidak perlu menangis. Aku tak apa”. Di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Roni tidak memungkiri kalau sejujurnya, terbesit juga kekecewaan baginya.
                Ibunda Roni yang tidak pernah berhenti menanyakan kabar kehamilan kepada Ratih dan Roni membuat Ratih semakin sungkan untuk menyampaikan kabar yang menurutnya akan begitu mengecewakan bagi mertuanya itu. “Apa yang harus aku sampaikan padamu, Ibu ? Bagaimana aku harus memulai percakapaan ini ?”, bisik Ratih di dalam hati.
Tidak kuasa melihat keceriaan sang Ibu ketika menanyakan kabar janin yang sepengetahuannya saat itu memang benar adanya, akhirnya Ratih memutuskan menyampaikan kabar itu kepada Ibundanya. Ratih tak kuasa menahan air mata ketika menyampaikan kata demi kata tentang kebenaran kehamilannya.
Betapa terkejutnya Ibunda Roni mendengar kabar itu. Betapapun dia kecewa, dia mengerti bahwa Ratih pastilah menjadi orang yang paling kecewa dalam hal ini. Ibunda Roni berusaha tetap tenang dan member support kepada Ratih dan Roni. Hubungan mereka tetap berjalan harmonis, Ibunda Roni tidak lagi menyinggung masalah buah hati.
~~~Masalah baru~~~
Meski sang suami, Roni, Ayah & Ibu Roni, juga adik – adiknya tidak pernah lagi menyinggung masalah buah hati, tapi perasaan Ratih tetap saja merasa bersalah, ia merasa kurang sempurna sebagai istri, sebagai menantu. Ditambah lagi setelah kejadian kemarin, aaah, perasaan Ratih semakin tak menentu.
Hingga tiba suatu malam, Roni yang hari itu pulang lebih cepat dari tempat kerjanya mengajak Ratih untuk pergi makan malam di luar.
Ratih tentu menyambutnya dengan hangat, karena hal ini juga yang sangat dinantikan Ratih selama ini.
Sambil menikmati makan malam di sebuah restoran khas makanan Sunda, mereka tiada henti membahas masa – masa indah yang pernah mereka jalani semasa pacaran. Penuh gelak tawa dan saling ledek, ah indahnya melihat kemesraan pasangan ini.
                Entah apa yang difikirkan Roni saat itu, entah dia sudah dirasuki arwah gadis yang gentayangan mencari teman hidup atau dirasuki arwah lelaki buaya yang tidak pernah puas bermain perempuan.
“Bun, kalo Ayah menikah lagi, apakah bunda ijinkan ?”, Roni memulai diskusi yang membuat hati Ratih mendadak panas kala itu sambil menundukkan kepala. Yah, ekspresinya tampak seperti seorang manusia tidak berperasaan yang seolah dengan penuh penyesalan terpaksa harus memohonankan sesuatu yang gila.
Gila, ya, gila menurut saya.
Bagaimana tidak gila, disaat sang istri belum lama berduka atas kehamilan bertahun - tahun yang dinantikannya namun ternyata salah, sang suami yang begitu dicintainya justru meminta ijin kepadanya untuk menikah lagi.
Ratih terdiam, tangannya tampak semakin kuat memegang gelas yang berisi ice lemon tea. Tidak satu pun kata yang Ratih keluarkan untuk menimpali suaminya kala itu. Ratih ingin suaminya tahu, bahwa hanya dengan diam itu suatu pertanda kalau dia benar- benar tidak mengerti dengan apa yang disampaikan suaminya 1 menit yang lalu itu.
“Ayah pengen menikah lagi supaya kita bisa punya keturunan Bun, Ayah ingin segera ngasih Ayah dan Ibu cucu”, lanjut Roni setengah memelas. Yah, kalo saja Roni memelas sambil mengeluarkan air mata kala itu, itulah air mata buaya yang penuh keegoisan.
Ratih tetap tak menggubris pernyataan – pernyataan Roni yang semakin panjang dan lebar namun tetap tak masuk akal bagi Ratih.
                Pernyaataan Roni malam itu, tentu saja cukup ampuh membuat Ratih tidak bisa tidur nyenyak berhari – hari. Bagaimana bisa seorang suami yang memintanya kepada orang tuanya, suami yang telah mengajaknya hidup bersama di luar kota mengatakan ingin menikah lagi ?
Dimana janji – janji yang katanya akan menjadikan Ratih sebagai satu – satunya wanita yang akan menemani sepanjang hidup Roni. Satu – satunya wanita yang berhak menjadi ibu dari anak – anaknya Roni. Satu – satunya wanita yang boleh memanggil suami kepada Roni.
Aaaah, entahlah, mungkin Roni sedang tidak waras kala itu.
                Kian hari sikap Roni semakin aneh. Dia semakin sering menyinngung masalah buah hati, bahkan di depan orang tuanya. Hal itu tentu membuat Ratih semakin terpukul dan terluka.
Dengan penuh ragu – ragu, Ratih akhirnya mengajak Roni berbicara sesaat sebelum mereka berangkat tidur.
“Yah, maafkan bunda kalo belum bisa ngasih Ayah keturunan sampai sekarang, Bunda juga bingung harus berbuat apa”, Roni mulai menyimak pembicaraan istrinya.
“Tapi Bunda juga tidak bisa menerima wanita lain yang akan sama - sama berstatus sebagai istri Ayah dengan Bunda”, lanjut Ratih sambil berurai air mata.
Melihat hal ini, Roni memeluk Ratih, “Ayah menikah hanya supaya bisa punya momongan aja Bun, Ayah ingin ngasih cucu buat Ayah dan Ibu, Ayah tidak akan menelentarkan Bunda”.
Panjang lebar percakapan Ratih dengan suaminya malam itu, hingga entah kalimat apa yang membuat Ratih percaya untuk merestui niat suaminya itu untuk menikah lagi.
Mungkin dengan janji, “Ayah tetap akan menomor satukan Bunda”, “Ayah akan tetap tinggal disini bersama Bunda”, “Ayah akan bersikap adil”, “Setelah memiliki momongan Ayah akan bercerai dan kembali kepada Bunda”.
Aaah, entahlah, yang jelas menurut saya, Ratih lah yang terlalu gegabah telah merestui niat suaminya itu.
Tak lama berselang, Roni melangsungkan pernikahan dengan wanita kedua, Nova namanya. Ratih, istri pertama yang telah menemaninya bertahun – tahun, bahkan hadir di pernikahan itu, ikut mengantarkan suaminya melakukan seserahan untuk wanita yang akan berbagi kasih Roni dengannya setelah itu.
Setelah menikah, Roni tinggal di rumah orang tua Nova. Bukan satu atau dua hari, bahkan berminggu – minggu. Ratih yang ditinggalkan suaminya di rumah mertuanya, semakin marah dengan sikap suaminya. Jangankan telpon, SMS Ratih tak jarang tidak dibalas suaminya, telepon Ratih, mana pernah Roni angkat kalau Roni sedang bersama istri barunya.
                Terbayang bagaimana perasaan seorang perempuan yang dinikahi seorang lelaki, diajak hidup dengan suaminya di luar kota yang jauh dari orang tuanya, setelah bertahun – tahun mengabdi, suami menikah lagi hanya dengan alasan ingin mempunyai momongan, bagi saya, alasan ini tetap tidak dapat diterima.
Komunikasi Ratih dengan suami semakin sulit dilakukan. Ditambah lagi over possessive istri kedua Roni yang kadang melarang Roni untuk sekedar mengangkat telpon Ratih, apalagi untuk membiarkan Roni pulang ke rumah orang tuanya, pulang ke rumah dimana terdapat istri pertamanya.
Sekedar memberikan uang bulanan masih Roni lakukan terhadap Ratih. Uang bulanan yang hanya cukup untuk membeli sabun, bedak, beras, tapi tidak untuk membeli perhatian dan kasih sayang suami yang selayaknya dia dapatkan penuh tanpa harus meminta.
Roni hanya datang satu  hari dalam seminggu kepada Ratih, paling sering dua hari. Inikah yang dikatakan adil ? Inikah yang dikatakan kalo Roni tidak akan meninggalkan dan menelantarkan Ratih ? Inikah yang dikatakan kalo Roni akan tetap menomorsatukan Ratih. Aaah, batin Ratih semakin tak menentu rasanya. Rasa cinta yang kuat terhadap suaminya, keinginan untuk tetap mempertahankan rumah tangga dengan suaminya, tidak mampu membuatnya menuruti keinginan orang tuanya yang memintanya bercerai dari suaminya.
                Ratih, walau dengan hati yang perih setiap hari, melewati setiap malam yang dingin sendiri, hanya ditemani bayangan, sedang apa suamiku dengan istri barunya ?
Sudah makan kah dia ? Tidak kah dia ingin tahu aku sudah makan apa belum ? Tidak kah dia kangen padaku ?
                Merasa tidak tahan lagi dengan suaminya, Ratih mengajukan gugatan cerai, tapi Roni menolaknya, “Aku begitu mencintaimu Bun, aku tidak ingin bercerai sama Bunda.” Selalu, itu dan itu yang Roni sampaikan ketika Ratih menyampaikan keinginan berpisah dengannya.
Entahlah, mungkin karena rasa cinta Ratih kepada Roni yang begitu kuat, perlahan hati Ratih mulai luluh dan pasrah lagi pada keadaan setiap kali mendengar pernyataan suaminya itu.
Ratih hanya menunggu suami yang dicintainya bisa kembali padanya, atau paling tidak, dia mendapatkan hak yang layak sebagai seorang istri, hak untuk diperlakukan adil seperti yang Roni janjikan pada saat memohon restunya untuk menikah lagi.
Kabar terakhir yang saya dengar, istri kedua Roni sedang mengandung, dan Ratih belum juga ada tanda – tanda itu. Hal ini tentu semakin dimanfaatkan oleh istri kedua Roni untuk semakin ‘mengekang’ Roni agar semakin jarang menemui istri pertamnya.
Aaah, pernikahan yang usianya masih dini, kenapa sudah diterjang angin yang begitu kencang seperti ini ?
Entahlah, mungkin Allah punya rencana indah lainnya.
~~~

Ya Allah, entah apa yang akan terjadi kalo saya berada di posisi Ratih.
Perih rasanya hati ini mendengar kisap rumah tangga sahabat kecil yang dulu selalu ceria itu.
Tidak rela rasanya atas apa yang terjadi pada sahabatku itu, kuatkan dia, berikan petunjuk yang terbaik menurutMu untuknya.

Be strong sahabat, be happy always :(

No comments:

Post a Comment